Disini dingin. Aku hanya ingin pulang.
Sore ini aku berjalan sendiri di balut kain tipis yang seolah menantang kehendak Tuhan. Ingin ku akui bahwa rasa dingin mulai terasa menyakitkan. Menusuk kulit hingga rasanya darahpun ingin keluar. Ku raba kulitku yang mengeras seolah tertutup es. Jariku mulai mati rasa. Nafasku mulai mengeluarkan suara. Tak hentinya asap tipis keluar dari mulut, seolah terbakar. Ada rasa senang yang muncul. Tapi terlalu banyak yang memohon untuk dihentikan saja.
Aku adalah ikan yang kau selamatkan saat tenggelam.
Mungkin banyak kata yang tak terucap. Karena sebagian dari diriku bahkan ingin menjahit mulut dari sebagian lainnya. Aku mencintai kesendirianku. Sebagaimana aku mencintai senyummu saat aku mulai bercerita tentang ‘aku’. Satu hal yang kedua sisiku cintai adalah hangat pelukmu yang seolah tak berhenti berkata bahwa aku lah ‘dia’. ‘dia’ yang selama ini kau harapkan. ‘dia’ yang ada dalam bunga tidurmu. ‘dia’ yang membuat kau rela menghentikan buku yang sedang asik kau baca hanya untuk menatap matanya dalam diam. Iya, hanya untuk dia.
Ya akulah ikan itu.
Aku adalah aku yang rela menjadi ‘dia’ agar senyummu tetap terkembang. Aku yang rela berubah menjadi ‘dia’ agar kau selalu ada disini. Aku tau ini bukanlah cinta.
Mungkin rasa ini semu. Penuh dengan kebohongan. Satu yang jangan berubah. Teruslah anggap aku sebagai ‘dia’. Karena aku telah menukarkan insangku hanya untuk menjadi ‘dia’.