2 min readMay 3, 2021
Jalan yang Hilang
Dingin berhasil mengusikku pagi ini, bangun dengan jeritanku sendiri tanpa membangunkan rekanku. Ingin rasanya berguling untuk sekedar menghangatkan badan ini. Kunaikkan selimut ini, namun ku sadari beberapa hari ini memang berbeda. Cahaya belum masuk ke tendaku, pantas saja dinginnya menusuk kulitku. Ku raba jam digital di tangan kiriku, menyalakan lampu birunya. Jam masih menunjukkan waktu 3 lebih 17.
Botol air mineral nampak menggoda pagi itu, embun membasahi plastik itu. Dengan sedikit berjuang untuk keluar dari kantung tidurku, ku raih botol itu. Akhirnya dahaga sedikit terpuaskan. Tanganku kembali melakukan pencarian, menuju keril di pojokan tenda. Seolah telah tau tujuannya, bertemulah jari-jari ini dengan bungkusan Surya.
Tolong jangan basah, tolong jangan basah.
Doaku dalam hati. Hujan menemani perjalanan dan pemberhentian kami. Namun nampaknya pagi ini akan sedikit berbeda. Kuambil jaket merah hasil pinjaman, semalam suntuk dia menjadi bantalan tidurku. Dengan berhati-hati ku buka resleting tenda, pembatasku dengan dunia luar. Berusaha merangkak keluar, tanpa menimbulkan suara.
Belum waktunya beraktivitas.
4 tenda lain masih berdiri, dengkuran halus masih terdengar. Sinar Mentari belum muncul, hanya sedikit pencahayaan dari sang Luna. Dengan satu tangan aku menenteng jaket, mengenakan sepatu sandal dengan seadanya, lalu merogoh kantung celana pendek abu-abuku. Sebuah pisau lipat hijauku akan menemani penjelajahan pagi ini. Ku buka bilahnya, sinar putih memantul dari bagian tajamnya. Melukaimu apabila diperlukan.
Kubiarkan kaki ini melangkah meninggalkan tenda, memanduku menuju sebuah turunan dengan vegetasi lebih terbuka. Pemandangan rawa yang memanggil untuk didekati. Namun sepagi ini bertemu babi hutan bukanlah harapanku. Sebuah batu besar menahanku, memaksa untuk mendudukkan diri. Dingin menusuk bagian celanaku, menusuk kulit, dan dagingku. Ku bakar Surya ditemani angin dingin yang membuatku begidik ngeri. Teringat oleh jejak kaki macan kumbang yang kemarin baru kutemui.
Kunikmati asap yang keluar dari bibir yang separuh terbuka, ataupun kedua lubang hidung yang bergantian menikmati udara. Hilang di hutan tentunya sangat meresahkan. Perasaan satu hari terakhir memang bercampuran, khawatir, resah, sedikit tertekan. Ku hela nafas panjangku.
Aku tak ingin pulang.
Ucapku dengan miris. Kubiarkan pikiranku bebas melayang, cakrawala dengan gundahnya mulai mengubah-ubah warna. Rawa dihadapanku mulai menampakkan pesonanya. Yang tadinya terasa menyeramkan, sekarang hanyalah keindahan. Satu persatu air mata meluncur menuruni pipiku. Pertahanan diri yang hancur setelah bertahun-tahun menahan tangis di depan orang lain. Kini dengan mudahnya hancur dihadapan jalan yang hilang.
Kunikmati kesendirianku sebentar lagi, sebelum akhirnya muncul sapaan dari teman-teman perjalanan. Kuingatkan diri ini
Pakai senyummu.
Pagi kunikmati dengan canda tawa, makanan seadanya, mendekat ke rawa. Maafkan aku meninggalkan sedikit kesedihanku di negeri antah berantah ini.
Aku pulang.
3 Mei 2021