Perkenalan di Ruang Hampa

your-scars
2 min readApr 17, 2021

--

Lengan baju hangatnya terlipat sampai ke siku, memperlihatkan kulit pucatnya yang sangat kontras dengan warna abu-abu itu. Tangan itu berusaha menarikku untuk bertahan di ujung dinding panjat. Berkat bantuannya aku berhasil duduk berdampingan dengan dirinya. Jejak kapur masih bersisa di tangan kami, lilitan harness masih menciptakan rasa aman.

Ingatanku ditarik mundur, ruang tunggu rumah sakit, putaran kursi roda, dan juga rasa sakit yang saling mempertemukan kita. Kecelakaanmu dan sakitku, 2 hal yang tidak seharusnya menyenangkan. Namun, entah mengapa akhirnya tidak pernah kita sesalkan. Masih kuingat betul tampilanmu sore itu, ditemani sahabat-sahabatmu yang dengan setia mendorong kursi rodamu. Kala itu rambutmu mulai panjang, dengan masker abu yang kau kenakan, tidak menghapuskan ketampanan dan kegelapan dalam matamu.

Senyummu mulai terlihat saat temanmu menyodorkan sedotan dari sebuah botol air mineral. Air mengalir dan mulai berpindah ke kerongkonganmu. Manis, tak lama diikuti gerakan bibir seraya mengucap terima kasih.

"Cih, pembohong yang hebat." Kataku, kulemparkan senyuman sinis melihat interaksi mereka.

Dan disinilah kita berdua sore ini, bersandar di dinding penuh batu pijakan. Merapatkan mata, berusaha mendapatkan oksigen sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak? sepasang manusia yang di ranselnya sama-sama membawa tabung oksigen, dengan bodohnya memanjat dinding setara dengan lantai 3. Pria bodoh ini mengeluarkan senyuman lima jari andalannya.

"Aku bukan mereka." ucapku sambil menaikkan satu sisi bibirku dan menantangnya untuk beradu pandang. Senyumnya langsung berubah, bibirnya terbuka, suara tarikan nafas dari mulutnya jelas terdengar, matanya menyipit memandangiku dengan tidak percaya.
"Aku suka disini....." katanya
"..." aku hanya mempertahankan pandangan, menunggunya menyelesaikan kalimatnya
"setidaknya aku bisa berhenti berpura-pura." ekspresinya berubah menahan sakit.

Kelegaan tersendiri melihatnya tanpa topeng sok kuat. Kuberikan senyuman seutuhnya, kututup mataku, menikmati angin menyentuh kulit leherku.

"Aku hanya ingin hidup, Red." suaranya pelan dan tertahan. Sebuah keinginan yang tidak berani dia ucapkan dengan lantang. Hal yang tidak pernah diucapkan ke orang lain, karena takut untuk diAminkan dan meninggalkan bekas luka bagi yang mendoakan.

"Kamu hidup, selamanya, diingatanku." balasku dengan cepat. Tak lupa sebuah kata Amiin kuucapkan dalam hati. Berharap waktu tidak usah berjalan, sehingga kita bisa menikmati momen ini sedikit lebih lama.

Sekarang aku paham kenapa keinginanmu untuk hidup tidak pernah kau utarakan pada orang lain. Satu kata "Amiin" yang bahkan hanya kuperuntukan untuk Tuhan masih terasa membekas. Tapi tidak apa, kamu taukan sekuat apa aku untuk tetap bertahan?

Kamu ingin hidup, bertemu dengan diriku yang ingin mati.
Namun kau mati, dan aku tetap hidup.
Sesuai dengan janjiku hari itu.
Aku disini, membawa ingatanmu kemanapun aku melangkah, melewati beberapa mimpi yang mungkin akan kamu lakukan kalau kamu masih disini, memutar kenangan yang kulalui semenjak kau pergi, berbicara pada sebagian dirimu yang masih tinggal dalam diriku, mengenalkan orang-orang baru yang hadir untuk diriku.

"Hei, aku sudah tidak sendiri." kataku, sebelum akhirnya terlelap di dalam selimutku.

-Red
17.04.2021

--

--

your-scars
your-scars

No responses yet